Deforestasi dengan dalih Food Estate di Kalimantan

 “DEFORESTASI DENGAN DALIH FOOD ESTATE di KALIMANTAN”

             Food estate adalah konsep pengembangan produksi pangan yang dilakukan secara terintegrasi dan terdiri atas pertanian, perkebunan, bahkan peternakan di lahan yang luas. Program ini diproyeksikan sebagai suatu moda produksi terobosan yang diimplementasikan dengan tujuan demi terpenuhinya kebutuhan pangan Indonesia. Sekalipun begitu,pembangunan lumbung pangan nasional sebenarnya bukanlah hal baru.pemerintahan Presiden Joko Widodo kembali menyampaikan wacana pembangunan food estate sebagai respon dari peringatan krisis pangan akibat Pandemi COVID-19. Namun, implementasi kebijakan food estate tentunya tidak lepas dari berbagai catatan dan kekhawatiran akan dampak terhadap lingkungan hidup dan masyarakat. Selain kritik terhadap penggunaan kawasan hutan lindung, penggunaan lahan bekas Proyek Lahan Gambut (PLG) era Presiden Soeharto juga menuai kritik. Perencanaan food estate yang menggunakan Kajian Lingkungan Hidup Strategis Cepat (KLHS dengan Metode Cepat) juga dinilai tidak memiliki landasan hukum yang kuat. Ditambah dengan alih fungsi kawasan hutan lindung sebagai lahan food estate, tentunya kebijakan ini perlu dikritisi lebih lanjut. 

            Apalagi lokasi food estate berada di Hutan kalimantan yang notabenya adalah hutan yang sering disebut sebagai salah satu paru dunia yang menyumbangkan oksigen untuk keberlangsungan makhluk hidup yang dapat meyerap karbon dioksida yakni karbon yang berbahaya dan menghasilkan gas oksigen yang diperlukan oleh manusia. Hutan di kalimantan ini menjadi sumber daya alam yang berperan penting pada lini kehidupan, baik dari ekonomi, sosial, budaya, dan lingkungan. Belum selesai dengan masalah lahan sawit, pembakaran hutan, ataupun alasan pembangunan, justru kini muncul masalah baru yakni kerusakan hutan yang disebabkan oleh alih fungi lahan untuk pembukaan food estate dikalimantan. Penggundulan hutan atau Deforestasi adalah kegiatan penebangan hutan yang lahannya dialihgunakan untuk penggunaan nonhutan, seperti pertanian dan perkebunan, peternakan, atau permukiman. Deforestasi berkaitan dengan penebangan atau pembalakan yang mengancam seluruh mahluk hidup yang pada umumnya diakibatkan oleh Kerusakan hutan yang ada di Indonesia pada umumnya dan hutan kalimantan pada khususnya. Hutan kalimantan terus mengalami pengurangan disetiap tahunnya, hal tersebut memicu dampak buruk bagi Indonesia maupun dunia. 

 Permasalahan Program Food Estate

            Dengan perkiraan kondisi stok beras yang masih mencukupi kebutuhan masyarakat, mengapa pemerintah terkesan tergesa-gesa untuk mengambil tindakan cetak sawah baru di kawasan Kalimantan yang notabenenya mayoritasnya adalah lahan gambut? Cetak sawah baru bukanlah jawaban jangka pendek yang ideal untuk menjawab masalah krisis pangan yang terjadi saat ini. Pasalnya, rencana cetak sawah harus benar-benar dikaji lebih mendalam dari segi konsep, teknologi, sosial budaya, dan daya dukung lingkungan. Selain itu, proyek ini juga membutuhkan waktu yang tidak singkat untuk pembangunan infrastruktur pendukung Rencana pemerintah untuk membuka lahan eks-PLG untuk dijadikan lokasi cetak sawah baru memunculkan kekhawatiran akan terjadinya kebakaran berulang di lahan gambut yang berpotensi merugikan negara.

            Hasil analisis Pantau Gambut mengenai area terbakar (burned area) menunjukkan bahwa area eks-PLG masih menjadi langganan kebakaran setiap tahunnya. Pada tahun 2019, luasan areal terbakar di lahan eks-PLG mencapai 167 ribu hektar (ha). Kondisi ini berpotensi diperparah dengan diterbitkannya Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Permen LHK) No. 24/2020 yang memperbolehkan penggunaan kawasan hutan untuk pembangunan food estate. Kajian kebijakan yang dikeluarkan Indonesian Center for Environmental Law (ICEL) menemukan bahwa peraturan tersebut bertentangan dengan Undang-Undang (UU) No. 41/1999 tentang Kehutanan yang telah mengatur secara terbatas pemanfaatan hutan lindung yaitu untuk pemanfaatan kawasan, jasa lingkungan, dan pemungutan hasil hutan bukan kayu. Selain itu, dengan diperbolehkannya penggunaan kawasan hutan lindung menjadi kawasan food estate dikhawatirkan akan meningkatkan laju deforestasi yang justru bertolak belakang dengan kebijakan-kebijakan yang sudah diterapkan sebagai komitmen Indonesia dalam upaya pencegahan perubahan iklim. Perubahan iklim berdampak buruk bagi pertanian karena berpotensi memicu terjadinya kekeringan, banjir, serangan hama, serta menyulitkan petani dalam memprediksi musim panen.

 Dampak yang Timbul dari Deforestasi

          Deforestasi hutan merupakan ancaman bagi mahluk hidup, luas hutan yang mengalami penurunan yang disebabkan oleh konvensi lahan untuk infrastrukur, permukiman, pertanian, pertambangan, dan perkebunan.

                                Gambar 1. Angka Deforestasi 




                    
                Gambar di atas menyajikan angka deforestasi di Indonesia yang dapat diketahui bahwa tingkat deforestasi atau hilangnya lahan hutan terjadi pada Tahun 1985 hingga Tahun 1998 dengan angka sekitar 1,6 hingga 1,8 juta hektar setiap tahunnya, tingginya deforestasi hutan tentunya disebabkan oleh manusia itu sendiri. Selanjutnya Tahun 2000 tingkat deforestasi kian meningkat menjadi 2 juta hektar, Tahun 2013-2014 mengalami penurunan deforestasi pada 0,4 juta hektar per Tahunnya, selanjutnya pada di Tahun 2014-2015 kembali mengalami peningkatakan yakni pada angka 1,09 juta hektar disetiap tahunya, dan pada tahun 2016 sampai 2017 kembali mengalami penurunan yaitu pada 0,48 juta hektar.
                Pengurangan  jumlah deforestasi tentunya akan berdampak baik terhadap lingkungan, sehingga akan  memberikan keasrian terhadap kehidupan maupun lingkungan. Memperjelas laju angka  deforestasi dapat dilihat pada Tabel 1 di berikut ini.

 

 

 

 

 

         Tabel 1. Deforestasi Menurut KLHK

No

Tahun

Jumlah Deforestasi Hutan Per Tahun

1

1985-1998

1,6 hingga 1,8 juta hektar

2

2000

2 juta hektar

3

2013-2014

0,4 juta hektar

4

2014-2015

1,09 juta hektar

5

2016-2017

0,48 juta hektar

           Deforestasi di Indonesia menimbulkan dampak yang sangat serius baik pada tingkat nasional maupun tingkat internasional, adanya kebakaran hutan yang tidak terkendali, penebangan yang merusak, membuka lahan yang dijadikan perkebunan, pengerukan bahan bakar, dan pembangunan wilayah transigrasi yang berdampak pada sosial ekonomi bagi masyarakat dengan kehidupannya yang sangat bergantung dengan hasil alam atau hutan, dan dapat menyebabkan timbulnya kerugian yang besar yakni bagi seluruh masyarakat maupun negara. Tingkat deforestasi yang tinggi tidak hanya menyebabkan kerusakan pada alam namun dampak yang ditimbulkan akan berdampak pada kehidupan sosial masyarakat.

  Negara Indonesia merupakan negara dengan penyumbang utama terhadap perubahan iklim dan kian rentan terhadap dampak-dampak yang ditimbulkan. Emisi Tahun 2000 di Indonesia dari sektor hutan dan perubahan terhadap peruntukan tanah diperkirakan mencapai 2.563 yang setara dengan megaton karbon dioksida (MtCO2e), Selanjutnya adanya emisi tahunan dari sektor energi, pertanian dan limbah yang besarnya mencapai 451 MtCO2e. Jika dibandingkan total emisi yang ada di negara Indonesia ialah mencapai 3.014 MtCO2e, sedangkan emisi negara Cina mencapai 5.017 dan emisi Amerika Serikat mencapai hingga 6.005 MtCO2e. Memperjelas data emisi dapat dilihat pada Tabel 2 berikut ini.

 

 

Tabel 2. Data Negara Penyumbang Emisi Tertinggi Tahun 2000

No

Negara

Besaran MtCO2e

1

Amerika Serikat

6.005 MtCO2e.

2

Cina

5.017 MtCO2e.

3

Indonesia

2.563 MtCO2e.

Sumber: (Directorate of Technical Education, 2017), data diolah penulis

Data di atas menunjukan bahwa negara Indonesia adalah negara penyumbang emisi ketiga terbesar di dunia dengan besaran 2.563 MtCO2e setelah negara Amerika dan Cina. Emisi yang tinggi dapat menyebabkan berbagai dampak serius diantaranya yaitu: Pertama, suhu mengalami peningkatan sejak 1990 sekitar 0,3 Derajat Celcius pada keseluruhan muslim. Kedua, meningkatnya 2 sampai 3 % intensitas curah hujan setiap tahunnya dan menikatnya resiko bancana banjir secara signifikan. Ketiga, menimbulkan ancaman pangan dari akibat yang ditimbulkan dari perubahan iklim yang ekstrem.

Keempat, permukaan air laut yang naik tentunya dapat menyebabkan tergenangnya daerah-daerah produktif pantai dan memberikan pengaruh terhadap penghidupan di daerah pantai. Kelima, bertambah hangatnya air laut memberi pengaruh terhadap kehidupan hayati laut dan menimbulkan ancaman pada terumbu karang. Keenam, menimbulkan berbagai penyakit yang dapat berkembang biak melalui media air dan vector yaitu penyakit malaria dan demam berdarah.Perubahan bentuk sebaran hutan akibat deforetasi dapat diamati pada Gambar 2 di bawah ini.

Gambar 2: Perubahan Bentuk Sebaran Hutan Akibat Deforestasi

 


Sumber: (Allcott, 2020) https://www.cifor.org/

 

Berdasarkan peta lahan di atas pulau Kalimantan memberikan informasi kehilangan lahan hutan di setiap tahun dari tahun 2020 sampai tahun 2017 yang   diakibatkan oleh lahan yang digunkan untuk perkebunan kelapa sawit dan perkebunan kayu plup yang pada peta di atas ditandai dengan warna hitam, untuk hilangnya lahan hutan tersebut ditandai dengan warna hijau menjadi warna lain pada gambar tersebut. Pada warna hijau ke warna putih menandakan kehilangan lahan hutan, untuk penebangan hutan dan dikonversi menjadi pada tahun-tahun yang sama, ditandai dengan warna hijau menjadi hitam. Sedangkan pada warna hijau yang berati hutan dibuat bendungan secara permenen (Allcott, 2020). Indonesia memiliki luas wilayah di Kalimantan yaitu 73 % dan 3, 74 juta hektar lahan tersebut hilang. Serta di pulau Kalimantan dengan pemilik Malaysia juga kehilangan lahan hutan dengan porsi lebih kecil yaitu 2,29 juta hektar hutan dan 1,85 juta hektar dipergunakan untuk lahan perkebunan.

Gambar di atas memperjelas bahwa hutan di Indonesia terus mengalami pengurangan lahan yang disebebakan oleh konversi pertanian, kebakaran hutan, pemanenan kayu, dan penggunaan kayu bakar(Fund, 2020). Peran hutan yakni berperan untuk penyimpan cadangan-cadangan karbon secara besar dan mampu meyerap karbon dioksida berlebih yang ada di udara dan mengonversinya menjadi oksigen melalui proses fotosintesis yang dapat menyimpan karbon lebih dari dua ratus milyar ton. Sehingga deforestasi berpengaruh sangat besar terhadap perubahan iklim yang berkaitan dengan karbon-karbon yang ada di udara dan pada tanah gambut jika kehilangan pohon di atasnya maka akan melepaskan karbon yang tersimpan ke udara.

 

A.    Cara Menanggulangi Deforestasi :

1.   1. Pemulihan Lahan Terdegradasi

Pembukaan hutan primer dan lahan gambut untuk keperluan pertanian adalah salah satu penyebab hilangnya hutan di Indonesia. Hasil analisis yang dilakukan oleh WRI (World Resources Institute) menemukan, bahwa terdapat peluang besar untuk memindahkan pengembangan agrobisnis ke beberapa lahan yang telah terdegradasi yang telah terbuka dan memiliki keanekaragaman hayati serta cadangan karbondioksida yang rendah. 

2.     2. Pengawasan Hutan

Para produsen pengguna hasil hutan juga memiliki komitmen dalam mengatasi deforestasi dengan memanfaatkan perkembangan teknologi terbaru dan turut dalam mengawasi hutan melalui teknologi satelit. Teknologi satelit ini dapat meningkatkan transparansi pada rantai pasokan perusahaan, melalui program Forest Cover Analyzer, Eyes On The Forest dan Global Forest Watch 2.0 

Teknologi ini memungkinkan setiap orang dapat melihat kapan dan dimana perubahan wilayah hutan melalui internet. Pemerintah di Indonesia juga berinisiatif melakukan pengawasan hutan di berbagai badan-badan pemerintahan.

3.      3. Sertifikasi Hukum dan Sukarela

Selain itu, usaha lain untuk mencapai tingkat deforestasi 0% adalah memanfaatkan berbagai mekanisme sertifikasi dan persyaratan hukum. Berbagai standar, meliputi kriteria dan prinsip-prinsip yang disusun secara seksama sebagai pedoman dalam pengolahan dan produksi komoditas, antara lain melarang pembakaran hutan dan deforestasi di hutan primer dan lahan gambut.

A.    Kesimpulan

                Berdasarkan analisis tersebut, dapat disimpulkan bahwa Pelaksanaan proyek food estate memiliki rekam jejak yang buruk terutama dari aspek keberlanjutan dan perlindungan lingkungan maupun potensi penolakan dari masyarakat adat setempat. Pemerintah dalam hal ini cenderung spektulatif dan tidak hati-hati dalam mengambil keputusan. Hal ini turut ditunjukkan melalui penyediaan lahan dikawasan hutan lindung hingga fleksibilitas penataan ruang bagi proyek food estate. Padahal secara historis, banyak catatan kritis dan evaluasi atas.

 

 


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Anthem Persitema Temanggung

Surakartans

Artikel Tugas APTI